Para ahli Fiqh
(Fuqaha) mengatakan : Tidak ada politik dalam apa yang bersesuaian dengan
syariat. Ibnu Aqil Abi al Wafa mengatakan: Kalau yang dimaksudkan oleh para
fuqaha itu “tidak bersesuaian” memang demikian pendapat saya. Tetapi kalau yang
dimaksud adalah “tidak diperintahkan”, saya anggap itu keliru besar. Sebab
kegiatan politik itu merupakan suatu ketentuan yang pasti, tidak boleh ditinggalkan
oleh mereka yang menamakan dirinya pemimpin (imam). Politik adalah suatu
kegiatan yang harus membawa manusia lebih dekat kepada kebaikan dan keadilan,
menjauhi segala sesuatu yang menimbulkan kehancuran, meskipun dalam hal ini
tidak ada keterangan yang resmi, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah. Tetapi
para sahabat pernah mengadakan kegiatan politis, dan dunia tidak memungkirinya.
Walaupun hanya merupakan tindakan atas diri orang yang pernah membakar kitab
suci al-Qur’an, namun disini terselip maksud-maksud perbaikan dan tujuan
politis. Demikian pula sayyidina Umar pernah membakar orang-orang atheis, dan
sayyidina Ali pernah membunuh seseorang yang menganut faham sekularisme,
zindiqisme dan rationalisme. Ibnul Qayyim sendiri menganut jalan tengah dalam
perbedaan yang menyangkut hukum Islam itu, katanya.
Ini merupakan tempat
tergelincirnya kaki, menyesatkan pengertian di arena yang sempit dalam
pertempuran yang sengit. Segolongan meninggalkan usaha, dan lemah, maka mereka
menyia-nyiakan ketentuan hukum dan melanggar undang-undang. Mereka melepaskan
orang-orang durhaka atas kerusakan dan menjadikan syariat tidak mampu
melaksanakan kemaslahatan ummat. Mereka menghalang-halangi cara-cara yang benar
atas diri mereka sendiri, dari cara-cara yang telah dikenal mana yang hak dan
mana yang bathil. Mereka menyia-nyiakan pengetahuan mereka dan pengetahuan
orang lain tentang cara-cara itu, bahwa itu menunjukkan suatu kebenaran, karena
mereka menaruh keragu-raguan maupun kecurigaan, bahwa cara-cara itu tidak ada ketentuan
dalam syariat. Yang mengharuskan mereka berpendapat demikian itu adalah suatu
pembatasan di dalam pengetahuan syariat Islam dan pembuktian antara kenyataan
dengan cara itu. Maka setelah yang berwenang melihat kenyataan itu dan manusia
tidak meluruskan persoalan mereka kecuali dengan suatu embel-embel atas apa
yang mereka fahami dari syariat, maka mereka menciptakan undang-undang dan
ketentuan-ketentuan politik yang tidak mengatur kemaslahatan umum. Kemudian
lahirlah dari pembatasan mereka di dalam syariat dan pengadaan mereka kepada
apa yang mereka buat-buat dari penetapan politik itu, kejahatan yang panjang
dan kerusakan yang dalam. Sulitlah persoalannya dan sukarlah jangkauannya.
Golongan lain menyia-nyiakan
dirinya dengan mengharuskan apa yang hukum Allah dan Rasul-Nya. Masing-masing
golongan itu -sebelum pembatasan mereka- sudah didatangi dengan kepentingan
Allah mengutus Rasul-Nya ke seluruh alam. Bahwa hikmah yang utama adalah untuk
menegakkan manusia di atas keseimbangan (keadilan dan kebenaran), jalan yang
menegakkan langit dan bumi. Apabila keadilan itu tegak dan kebenaran itu nampak
diatas langit dan bumi, berlakulah hukum Tuhan. Tegaklah dalil-dalil akal dan
berjalanlah manusia dengan akalnya ke jalan yang dikehendaki atas perintah dan kerelaaan
Tuhan. Tuhan tidak membatasi jalan-jalan keadilan, petunjuk-petunjuk-Nya,
tanda-tanda-Nya dalam satu bentuk saja, dengan membuang cara-cara yang lain,
dimana cara-cara itu lebih kuat daripada bentuk itu, dan lebih jelas serta lebih
dapat diertanggungjawabkan. Bahkan segala cara, semua bentuk telah ditetapkan
di dalam syariat-Nya, dengan maksud menegakkan keadilan, kebenaran, yakni :
keharmonisan hidup manusia. Dimana ada cara yang mengeluarkan kebenaran,
disitulah wajib kita tempuh. Dimana ada bentuk yang menghasilkan keadilan,
disanalah kita wajib mencari. Dimana ada tanda-tanda yang menunjukkan suatu
keharmonisan, disinilah kita wajib ikuti.
Cara, bentuk,
tanda-tanda dan lain-lainnya hanya merupakan alat atau sebab, faktor atau unsur
untuk menyampaikan tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Adapun tinjauan syariat
Tuhan yang mengatur segala aktifitas manusia di dalam semua aspeknya adalah
kebenaran, keadilan dan kebahagiaan yang seimbang. Dalam hal ini kita tidak
perlu bersikap ekstrim, memastikan sesuatu atau mengolah sesuatu sebelum ada
ketentuan hukum. Karena kedua sikap ini dasarnya adalah tidak mengetahui dengan
pasti.
Akan tetapi kita
harus berhati-hati dengan apa yang telah disyariatkan (ditentukan oleh hukum
Tuhan) dari segala cara-cara yang mengantarkan kita sampai kepada tujuan pokok.
Atau, adakah yang menyangka bahwa syariat itu membawa sesuatu yang belum
sempurna?
Politik Yang Adil
Tidak ada yang
mengatakan bahwa poltik yang berprinsip keadilan itu menyalahi hukum Islam,
bahkan ia merupakan bagian dari isinya yang sempurna. Memberi nama politik
sebenarnya hanya istilah, kalau tidak maka keadilannya saja sudah sesuai dengan
syariat Islam.
Pembagian
Agama Islam menurut
sebagian dari mereka, merupakan cara-cara hukum (syariat dan politik). Sebagian
yang lain bilang bahwa agama itu adalah syariat dan hakekat. Yang lain pun ada
yang mengatakan bahwa agama itu akal dan naql (otak dan wahyu). Pembagian ini
semua adalah bathil, sebab yang benar, bahwa syariat, hakikat, politik maupun
akal itu hanya ada dua bagian : Haq dan bathil.
Kebenaran adalah
bagian dari syariat, lawannya adalah kebathilan. Ini merupakan prinsip yang
harus tegak dibangun di atas satu huruf. Ia berlaku umum dalam apa yang menjadi
kebutuhan hidup manusia yang tidak pernah diberikan selain dalam Islam.
Kebutuhan kini hanya kepada siapa yang sanggup menyampaikannya. Iman tidak
sempurna kecuali dengan menerapkan keuniversilan risalah itu di sana sini. Maka
yang namanya mukallaf, tidak dapat keluar dari tanggung jawab dan tidak dapat
memungkiri dirinya sendiri, bahwa kebenaran, keadilan dan kebahagiaan menjadi
kebutuhan pokok dalam hidupnya.
Tauladan
Bahwa dalam diri
Rasulullah, tiga prinsip (kebenaran, keadilan, dan keseimbangan) itu berkumpul
dan telah menjadi satu kesatuan yang tidak dipisah-pisahkan. Beliau menjadi
tauladan yang baik dalam kepribadian, kepemimpinan dan terutama dalam soal-soal
politik atau ketatanegaraan. Beliau sudah menyampaikan ajaran-ajaran Islam
dengan cukup sempurna. Dengan kata lain, bahwa segala kegiatan yang melalui
cara yang baik, adil dan benar – berdasarkan firman – telah diperinci oleh
beliau dengan sedetail-detailnya dan patut kita teladani. Dari soal-soal aqidah
hingga masalah-masalah yang akan terjadi pada hari kiamat nanti (persoalan
hifdup, mati dan hidup kembali) telah dikenalkan beliau, ketentuannya,
sasarannya, penyakit-penyakitnya, dan obat-obatnya – yang tetap berdiri diatas
dasar prinsip politiknya – yaitu keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Apabila
segala sesuatu yang kita ketahui langsung kita praktikkan, pasti dunia ini
berjalan menurut ketentuannya, menuju kebahagiaan yang hakiki.
Keyakinan
Kesimpulan yang
harus kita yakini, yaitu bahwa syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw
itu tetap merupakan tata cara, pedoman, undang-undang dan peraturan yang
sempurna.
Firman Allah : Dan
apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al
Kitab, sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam al-Qur’an itu
terdapat Rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman
(Al-Ankabut : 51)
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap
umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu
(Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu
Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat
dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (An-Nahl : 89)
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Yunus : 57)
Kesimpulan
Karena itu maka syariat Islam tidak butuh kepada politik lain yang
datangnya dari Timur atau Barat. Tidak memerlukan analogi, filsafat, logika, interpretasi
dari luar. Barangsiapa yang tidak mempunyai keyakinan demikian, berarti ia
telah meyakini datangnya Rasul lain sesudah Rasulullah saw. Sebab yang pasti adanya
orang yang menyangka ada kekurangan dalam syariat Islam itu adalah karena
tidak, belum dan memang kurang memahami secara keseluruhan. Sayyidina Umar
pernah melarang orang-orang mengkodifikasikan hadits-hadits Nabi, dikhawatirkan
bercampur aduk dengan al-Qur’an. Bagaimana pendapat kita, kalau kita melihat
orang yang mencampur hasil pikirannya sendiri, khayalan dan angan-angannya
dengan al-Qur’an dan as-Sunnah? Dan bagaimana kita bisa percayai bahwa
al-Qur’an maupun as-Sunnah itu dapat menjadi obat penawar, kalau isinya
dikatakan kurang dari 10% tentang syariat dan undang-undang? Atau betapa dada
dengan segala isinya akan dapat disembuhkan kalau ia belum pernah memanfaatkan
satu di antara sekian banyak isinya yang harus diyakini?
Subhanallah, ini adalah suatu kebodohan yang sangat. Demi Allah,
orang-orang yang berbuat dosa selain dosa syirik masih lebih baik daripada
orang yang tidak sama sekali punya keyakinan tentang kesempurnaan ajaran
(syariat) agama Islam.
Dari kitab :
A’laamul Muwaqqi’en an Rabbil Alamien. Juz 4 : Hal 460.
Oleh : Ibnu Al Qoyyim Al Jauziyah
Alih Bahasa : Jamaluddin Kafi
Tidak ada komentar: