Hadits

[Hadits][bleft]

Akhlaq

[Akhlaq][bsummary]

Pendidikan

[Pendidikan][twocolumns]

KATA sebagai gambaran PIKIR (2) - Kekuatan Kata




Kekuatan Kata


Menguasai kata-kata merupakan jalan utama menguasai dunia. Bukan ungkapan kosong tapi merupakan kenyataan sejarah bila kita mencoba menyimak kembali jalan kehidupan sejarah. Dalam panggung sejarah kita menyaksikan bagaimana kuasanya Hitler membangun semangat Bangsa Jerman. HOS Cokroaminoto dan Agus Salim membangkitkan semangat Umat Islam Indonesia, Bung Karno menggelorakan semangat perjuangan bangsanya. Demikian juga para Nabi dan Rasul pada umumnya orang-orang yang fasih sehat lidahnya. Nabi Musa untuk menghadapi Fir'aun secara khusus berdo’a pada Allah supaya dapat bebas dan tegas menggunakan kata-kata.


Dalam ajaran Islam kata yang diungkapkan merupakan gambaran dari penghayatan terhadap ajaran


مَنْ كانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيصْمُتْ (رواه مسلم)

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam”

 

lantaran itu tidak setiap yang dialami dan dipikirkan harus dikatakan, cukup seseorang dinyatakan sebagai berdosa bila menyatakan setiap yang didengar telinganya

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang itu dianggap berdosa jika ia membicarakan setiap yang ia dengar”

 

Karena itu, tidak otomatis yang bagus didengar atau dialami seseorang lantas akan bagus pula bila dikatakan / diperdengarkan pada orang lain. Memang kadangkala diam itu lebih baik, sayang banyak orang yang tidak mampu menahan diri.  


الصَّمْتُ مِنَ الْحِكْمَةِ، وَقَلِيلٌ فَاعِلُهُ

“Diam itu hikmah, dan sedikit yang mengerjakannya”

 

Untuk menghindari salah tanggap terhadap pengalaman dan pikiran yang diungkapkan dalam kata, Islam menuntut kita untuk melihat sasaran kata yang akan kita tuju, jangan berkata dengan kata-kata yang di luar jangkauan kemampuan sasaran kata itu sendiri

 

Karena itu pula sampaikan ajaran dariku walau hanya satu ayat, jangan diartikan sekedar keharusan menyampaikan ajaran yang kita ketahui tapi harus selalu dikaitkan atau diteruskan dengan kalimat “sesuai dengan kapasitas kemampuan orang yang akan menerima kata itu.

 

Pelajaran dari Ayat Tentang Perang Uhud


Pada zaman Rasul pernah terjadi penyelewengan dari sekelompok perajurit yang apabila dilihat dari strategi perang sungguh sangat merugikan perjuangan yakni pada waktu perang Uhud. Tapi dalam upaya persatuan dan kesatuan serta penggalangan kekuatan, Rasul tidak lantas menjatuhkan sangsi terhadap para penyeleweng itu. Rasul dengan bimbingan Allah SWT. memakai pendekatan lain terhadap para penyeleweng itu.


Diceritakan bahwa sebanyak 50 perajurit ditugaskan oleh Rasul untuk menduduki bukit Uhud yang sangat strategis ditinjau dari taktis peperangan. Mereka memback up para perajurit melalui senjata-senjata yang langsung ditujukan pada musuh dan sekaligus melindungi kawan-kawannya dari serangan musuh.


Lantaran lontaran senjata merekalah, maka perajurit Islam dapat maju dan sekaligus mendesak musuh. Tapi setelah musuh mundur terdesak, mereka melihat peluang lain yang dianggap menguntungkan yakni memungut harta musuh yang berceceran ditinggal perajurit Quraisy yang terdesak. Mereka (40 orang) serta merta meninggalkan pos penjagaan mereka dan memburu barang-barang itu. Akibatnya musuh mendapat peluang untuk merebut posisi yang sangat strategis itu. Sudah tentu kesempatan itu tidak mereka sia-siakan. Dengan dikuasainya posisi tersebut oleh musuh, pada babak selanjutnya jadi lain, sekarang umat Islam yang terdesak, untuk kemudian perang hari itu diakhiri kekalahan pada pihak Islam.


Hanya karena Rahmat Allah-lah, Rasul tidak bertindak keras dan kasar, tapi berlaku lemah lembut, memaafkan, malah memintakan ampunan pada Allah buat mereka, mengajak musyawarah, sebab seandainya kasar dan keras pasti mereka akan bubar meninggalkan perjuangan dan tinggalah Rasul seorang diri (QS. 3: 159).


Dengan kata lain, ayat yang berhubungan dengan peristiwa tersebut memberikan isyarat pada kita untuk tetap waspada, hati-hati tapi juga tetap ramah dan lembut berhadapan dengan kawan seperjuangan yang kebetulan berbuat salah atau bisa jadi kawan seperjuangan yang berbeda pendapat. Sebab bukan hal yang mustahil, kita (Umat Islam, Islam atau ajaran Islam) ditinggalkan oleh orang lain, bukan lantaran mereka tidak mengakui kebenaran Islam, tapi lantaran Islam disampaikan dengan kata-kata dan sikap yang kasar dan keras. Si Penyampai ajaran jadi fitnah terhadap ajarannya sendiri.


Dengan demikian setidak-tidaknya ada dua kemungkinan mengapa orang menjauh dari para pejuang lslam sehingga si pejuang itu ditinggal sendirian. Pertama, Si Pejuang itu memang istiqomah, memegang teguh ajaran akan tetapi orang lain benci terhadap ajaran itu. Lantaran itu mereka menjauhi si pejuang, dalam keadaan demikian si pejuang harus bangga dengan kesendiriannya sebab dalam kesendirian pun dia tetap mampu memegang ajaran, tidak terpengaruh suasana sekitar. walau dengan itu resikonya harus sampai makan dedaunan yang kering. Kedua, Si Pejuang benar dan orang sesungguhnya senang terhadap kebenaran yang disampaikan Si Pejuang, walau demikian mereka tetap menjauh atau tidak mau bersama-sama si pejuang lantaran watak dan sikap si Pejuang tadi yang kasar dan keras serta kurang sopan. Dalam hal ini maka si pejuang harus banyak introspeksi supaya dapat memperbaiki teknis dan cara pergaulan sesuai dengan situasi dan kondisi tanpa meninggalkan identitas dan ajaran Islam.


Walaupun demikian, jangan diterjemahkan bahwa kita harus demikian hati-hati dan sopan dalam mengeluarkan kata-kata yang disampaikan itu, nilai kebenarannya jadi kabur tidak jelas dan samar-samar. Kata yang tidak jelas / kabur akan memberi peluang tafsir bermacam-macam. Hal demikian akan cukup mengkondisi suasana yang sangat kondusif untuk suburnya perpecahan, bentrokan dan pertentangan-pertentangan. Masyarakat yang dikonsumsi dengan kata-kata yang tidak jelas akan ditumbuhi pengertian yang berbeda-beda dan bahkan bertabrakan.


Sisi lain yang harus disadari bagi penyampai kata kebenaran adalah betapapun halus dan ramahnya penyampaian kata kebenaran, akan tetapi tetap saja akan dihadapkan kepada berbagai penentangan, sebab kata kebenaran itu berlainan sifat dan wataknya dengan keinginan hawa nafsu. Dan adalah tidak sedikit orang yang menuruti hawa nafsu.


Walau demikian baik dari segi moral atau pun etik apalagi agama (Islam), sesungguhnya setiap orang dengan segala kehalusan dan keramahannya tetap wajib berkata benar dan jelas tegas. 


Tidak ada komentar: