Hadits

[Hadits][bleft]

Akhlaq

[Akhlaq][bsummary]

Pendidikan

[Pendidikan][twocolumns]

Jatuh Tanpa Sadar




Oleh : Adnin Zahir Syadid

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟ (رواه مسلم)

“Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi?”  (HR. Muslim)

Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh Rasulullah saw. adalah ia mampu mengabarkan tentang kejadian-kejadian yang akan datang, bahkan jauh melampaui zaman. Tentang hal ini, banyak ayat dalam al-Qur’an yang juga menggambarkan tentang ilmu pengetahuan yang baru dapat dibuktikan kebenarannya akhir-akhir ini. Melalui gambaran tersebut setidaknya dapat menguatkan umat islam dalam memperdalam keimanan mereka kepada Allah swt.

Hadits diatas juga merupakan gambaran sekaligus warning yang diberikan oleh Rasulullah saw. mengenai perilaku kita sebagai pengikut beliau. Bahwa kita semua secara sadar maupun tak sadar akan mengikuti kebiasaan orang-orang kafir. Kebiasaan yang jika ditelusuri lebih dalam disebabkan oleh dangkalnya pemahaman maupun sikap acuh tak acuh yang dimiliki seseorang. Pada kesempatan kali ini, penulis mencoba sedikit mengurai bagaimana seseorang dapat terjurumus “tanpa sadar”.

Sikap acuh tak acuh

Diakui atau tidak, dengan segala perkembangan tekhnologi yang ada, menuntun orang untuk bersikap acuh tak acuh. Pernahkah kita membandingkan waktu interaksi antara kita dengan orang lain dan interaksi kita dengan smartphone?

Ajaran islam datang dengan membawa muatan sosial yang sangat tinggi. Kita bisa melihat banyaknya ajaran dalam islam yang mengatur tentang interaksi antar sesama. Bagaimana kita bersikap, berbicara, dll. Dengan semakin minimnya interaksi, secara tidak langsung semakin sedikit pula sikap saling menasihati. Padahal itu juga merupakan salah satu inti dalam ajaran islam dalam rangka membangun ukhuwah islamiyah.

Ketergantungan atas media sosial serta menafikan keberadaan lingkungan sosial adalah salah satu penyebab timbulnya permasalahan ini. Tak sedikit yang menjadikan media sosial sebagai bahan rujukan tanpa memfilter semua berita, semua informasi menjadi shahih dimata pembacanya. Apa hasilnya? Skeptisisme pada lingkungan sosial.

Lambat laun, budaya kafir dan pemahaman yang bertentangan dengan islam merasuk kedalam pemikiran seorang muslim yang diaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Urus saja dirimu sendiri, emang kamu udah bener? Adalah beberapa pilihan kalimat yang diungkapkan ketika sesesorang berusaha menasihati dirinya. Sudah jamak diketahui, tidak ada manusia yang sempurna, yang ada adalah yang mencoba mendekati kesempurnaan itu. Pasti ada celah, aib pada diri seseorang. Sebenarnya, adalah suatu keuntungan bagi kita ketika orang lain melihat kekurangan pada diri kita, ada momen buat kita untuk memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Bagaimana bersikap? Proses hiduplah yang akan menjawab.

Teori Tanpa Praktik

Para santri yang bertahun-tahun tinggal di asrama akan mendapatkan momen lebih untuk mengetahui seluk beluk agama islam. Melalu bimbingan para asatidz, dia dapat memilah mana yang harus dikerjakan maupun yang harus ditinggalkan. Setelah lulus, sedikit banyak masyarakat memiliki ekspektasi terhadap ilmu yang ia miliki. Banyak akhirnya yang mencoba menanyakan permasalahan agama kepada mereka karena dipandang sudah memahami 100% ilmu agama, meskipun kenyataan berkata lain. Setiap pesantren memiliki ciri khasnya masing-masing. Merupakan hal yang sulit didapat ketika sebuah pondok pesantren dapat menggabungkan seluruh komponen ilmu agama dalam masa “hanya” 4-6 tahun.

Realitanya, masyarakat awam tidak mengenal hal tersebut. Definisi mengenai pondok pesantren tertuju hanya kepada satu pengertian: tempat belajar agama islam. Tak peduli apa itu spesifikasinya. Disinilah, lulusan pesantren harus menerima kenyataan ini.

Melihat apa yang berkembang saat ini, tidak sedikit lulusan pesantren yang hanya sekedar lulus. Ilmu yang didapat tak coba diterapkan kembali dalam kehidupan yang sebenarnya. Secara teori, ia harusnya dapat merubah keadaan lingkungan yang tidak kondusif menjadi lebih kondusif, lingkungan yang tak baik menjadi baik. Sayangnya, tak sedikit yang pada akhirnya justru turut larut dalam kondisi ini.

Salah satu aspek yang mendasari ini adalah belum adanya kesiapan mental dari para lulusan pondok pesantren untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatnya ke luar. Perubahan lingkungan yang sangat dinamis berbeda dengan kondisi pesantren yang dapat menjaga kultur keislaman selama bertahun-tahun. Zaman yang jadi serba matrealistis sangat jauh berbeda dengan budaya gotong royong yang sudah menjadi ciri khas pondok pesantren.

Tak dipungkiri, pada akhirnya banyak yang akhirnya larut dalam kondisi ini. Ilmu yang didapatnya sedikit demi sedikit hilang, dan akhirnya ia sama sekali tak bisa berbuat apa-apa.

Setiap orang memiliki jalur tersendiri dalam rangka mentransfer pemikirannya ke orang lain. Pada zaman ini, masyarakat lebih nyaman untuk berdakwah melalui media sosial. Tentu ini juga menjadi nilai plus tersendiri melihat cakupannya yang lebih luas. Namun jangan lupa, interaksi dengan tatap muka tetap menjadi solusi paling efektif. Berbeda dengan tulisan yang sangat multitafsir, ucapan yang keluar dari mulut lebih mudah dicerna, karena sebelumnya sudah dibangun melalui beberapa pengantar komunikasi. Tinggal bagaimana kita memahami karakter pada diri seseorang, semakin kita memahami karakter seseorang, semakin mudah pula cara kita menyampaikannya.




Tidak ada komentar: